Sabtu, 11 Juli 2015

Mama lihat kamu suka alay di dropbox?

Berhati-hatilah yang mempunyai aplikasi dropbox yang menggunakan akun email orang lain. Apalagi orang tua. Parah dan berabe jadinya. Bisa jadi, mulai dari foto-foto selfie yang hina dina sampai foto berbagai halaman buku yang berisi quote-quote galau yang telah ter stabilo ijo kuning juga bakal terdeteksi. Meskipun begitu konten positif juga bisa terlihat pula, seperti berbagai dokumentasi event yang kita ikuti. Namun alangkah baiknya bila semua itu terjalin melalu komunikasi langsung. Bukankah tujuan luhur gadget adalah mendekatkan yang jauh, bukan malah menjauhkan yang dekat?

Selain marak tren batu akik akhir-akhir ini, tren telepon pintar atau smartphone rupanya semakin lebar sayapnya, mulai dari remaja sampai orang tua. Kalau anak muda keranjingan gadget itu sudah biasa. Lain cerita apabila sang mama dan papa juga ikutan berselfie ria serta menulis status-status. Namun apalah arti komentar saya ini kalau itu  hanyalah sinis saya saja terhadap mereka. Sudah bagus juga sudah mau belajar hal-hal yang baru. Tidak semua orang mau dan mampu berpindah dari zona nyamannya.


Bukannya sekarang ini jamannya orang yang terjebak zona nyaman dan aman. Cari sekolah yang punya nama bagus biar bisa kuliah bagus dan kerja nya juga oke. Gitu terus. Itu niat cari ilmu apa cuman buat tumpangan?


Yup, paragraf diatas mungkin rumpang, atau bahasa kerennya tidak koheren. Namun, bukankah sekarang ini sudah banyak kerumpangan/kecacatan yang udah dianggap biasa saja? Misalnya, ada acara meetup buat kangen-kangenan dah jarang kumpul. Udah lengkap personil duduk melingkar namun malah sibuk ber gadget ria atau seringkali malah berfoto jua. Entah manusianya yang difoto apa makanannya. Padahal esensi tujuan dari kumpul tersebut adalah merekatkan jarak, agar terjalin komunikasi normal antar kepala bukan?


Di penghujung posting ini, saya ingin menambahkan Pertama, saya harap unek-unek saya ini gak semakin bikin Anda mbunek mbunek namun juga dapat menjadi perenungan bersama. hehe. Kedua, saya memohon maaf atas banyak sekali pause post ini dengan postingan sebelumnya. Dasarnya males sih. Semangatin dong! wkwk iya kamu, para pembaca. (krik krik krik) Ketiga, selamat menjalankan ibadah puasa. Jangan lupa ngibdah biar semakin deket sama Allah SWT juga dideketin sama jodohnya masing-masing Aamiin :3


Love, AKF

Jumat, 19 Juni 2015

CERPEN : "Nonton"



Senja itu, aku pulang masih dengan pakaian dan dandanan yang sama semenjak masuk kelas kuliah jam 7 pagi. Hari yang melelahkan seperti biasanya dengan segala aktivitas kampus, mulai dari kerja kelompok membuat video company visit di kampung wisata prawirotaman, mengunjungi restoran tata boga untuk praktek table-manner, hingga, agenda rapat rutin festival anniversary hima. Kusingsingkan sedikit blus panjang ku untuk melihat pukul berapa saat itu. Jam 16.30.

Aku menaiki tangga curam nan terjal kos yang tetap setia bersamaku dua tahun belakangan. Masih saja kupajang bunga plastik pemberian seorang bribikan teman sewaktu kami upgrading di depan pintu kosan, menemani segala gala stiker agenda event yang saling tindih disana. Yah mungkin aku terlalu senang ada di kampus ini. Banyak sekali agenda yang membuatku tergerak mengikutinya.
Kubuka pintu kosan dengan sedikit terburu. Aku sudah tidak sabar menghempaskan tubuh lelah ini diatas kasur 2x0,9m. Sedetik kemudian, Aku merasa asing dengan kamar kosan yang rapih. Tanpa selimut yang berantakan, mukena dan sajadah yang dibiarkan tergeletak, kabel charger laptop, tablet, hape, serta headphone yang saling bertautan, dan juga lembaran-lembaran hvs yang berisi sket desain. Namun kali ini berbeda. Semua telah tertata rapi. Aku bahkan lupa kalau pagi tadi sudah sempat aku bereskan. Tak seperti biasanya.

Bisa jadi alasannya disebabkan oleh pergantian statusku akhir-akhir ini yang sekarang telah berpunya. Sudah ndak suwung. Orang memang gampang berubah ketika jatuh cinta, tertusuk panah asmara, ketandan asmoro, gandrung, atau apalah itu namanya. Rasanya letih badan sudah terkesampingkan dengan perasaan senang akan bertemu dengan mamas malam ini. Gak usah dijelaskan to mamas itu siapa? Kan sudah jelas dr root word nya -> mas mas. hehehe.

 Setelah menanggalkan hijab dan berganti baju rumah kosan, kemudian aku membuka-buka lemari untuk mematut diri mencari baju yang pas. Hari ini mamas dan aku berencana nonton film di bioskop bukan di warnet. Aku mengira-ngira baju seperti apa yang bakal dipakai mamas. Gak lucu banget kalo nantinya salah kostum. Bisa gak konsen dan gak mood semalaman. Mamas orangnya easygoing. Biasanya dia akan memakai jeans, t-shirt dan jaket. Topi yang biasanya dipakai ketika acara kampus jelas bakal ditinggalkan. Ngapain ke bioskop pake topi -_-. Terus, sepatu atau sandal? Biasanya sih pake sandal selop. Aku pake sepatu aja deh. Oke, t-shirt, cardigan, jeans, juga sepatu kets sudah ditangan. Tinggal mandi dan nunggu bbm mamas. “ aku sudah di depan.”
*** (^.^) ***
Setelah film selesai diputar, kami menunggu antrian penonton keluar dulu di tempat duduk paling atas. Baris A di sisi agak kanan. Sempet sebel juga karena gak bisa memilih bangku favorit baris tengah sisi kiri.

Setelah dipikir-pikir, bioskop ini lain daripada yang lain. Yang diputar bukan lah film-film baru yang tengah box office. Melainkan film-film jaman dulu yang pernah meraih berbagai penghargaan. Mencurigakan. Sebut saja film The Forest Gump, Dead Poets Society, The Dallas Buyers Club, PK, Great Gatsby, The Blind Side, Pride and Prejudice, dan beberapa film dalam negeri seperti Bahwa Cinta itu Ada, Tenggelamnya kapal van der wijk, dan Opera Jawa. Iya emang aneh kok.Tapi itulah yang membuatku suka mengunjunginya. Apresiasi penghargaan menurutku juga dapat membuat motivasi untuk lebih mengembangkan diri.

Kemudian tak lama setelah menunggu, kami pun keluar. Aku izin mamas pergi ke kamar kecil sebentar sesaat setelah keluar. Kulirik Mamas kemudian duduk di lorong bioskop.

Keluar dari toilet, aku mendapati mamas tengah mengobrol dengan kawan-kawan se-fakultas. Ada beberapa yang merupakan anggota dari geng ajaib mamas. Kebanyakan sih ku kenali. Rasanya orang ini memang ada saja orang yang disapa maupun disapa dimanapun dia ada.

“ Hey mas! Abis nonton apa?” seseorang menepuk pundakku dari belakang.
Rupanya Lucy, teman sekosanku yang baru saja mengagetkanku.
“Duh, cy, kamu itu ya. Mbok jangan manggil mas. Nama ku kan bagus toh. Mashita. Kan bisa sita, cita, cita citata atau apa kek gitu?” protesku.
Lucy tertawa. “Hahaha, ya elu sih namanya mashita. Kan gampang manggilnya ya mas aja gitu”
“Udah lah udah. Emang Lucy mau nonton apa pulang nonton nih?” tanya mamas sambil mengusap usap rambutku.
“Mau nonton nih mas hehehe.” jawab Lucy sambil menunjukkan tiket nya.
“Kuroooooooooooo, lu masih di dalem kan???” tiba-tiba lucy teriak kenceng banget. Manggil temen kos ku yang lain.
Ini orang lagi telat obat apa ya, di bioskop teriak-teriak sama orang yang ada di dalem. Sumpah sarap. Dasar kelakuan.
“Iyaak, nyong masih di dalem” suara khas ngapak Kuro terdengar sampai keluar. Tak kalah kerasnya dengan Lucy.
*** (-___-) ***
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Terdengar suara alarm dari telepon seluler disamping bantal. Aku terbangun dari tidur. Aku beranjak duduk. Kemudian....
“Lucy !!!!!!!! Lo udah ngerusak mimpi indah kuuuuuu” umpat ku sambil membuka pintu menghampiri lucy yang tengah duduk di ambang tangga.
“Yailah, lu sih, udah siang masih molor aja. Mentang-mentang liburan” balas lucy tak kalah nyaring.
Jadi, teriakan lucy tadi itu karena ia penasaran dengan kamar kuro yang tertutup rapat semenjak pagi. Bukan menanyakan apakah dia sudah berada di dalam ruang bioskop.
Jadi yang baru aja terjadi, 700 kata terbuang sia-sia hanya menceritakan tentang mimpi. Maya, fana, gak nyata?

Antara sedih, senang, gemas campur jadi satu. Hasilnya? Aku hanya menertawakan diriku sendiri bersama kekonyolan dan imajinasi bersama mamas. Yang sejatinya hanyalah teman-rasa-pacaran ku.

Senin, 27 April 2015

LIT Class : The House on Mango Street

The House on Mango Street
by Sandra Cisneros

We didn’t always live on Mango Street. Before that we lived on Loomis on the third floor, and before that we lived on Keeler. Before Keeler it was Paulina, and before that I can’t remember. But what I remember most is moving a lot. Each time it seemed there’d be one more of us. By the time we got to Mango Street we were six—Mama, Papa, Carlos, Kiki, my sister Nenny and me.
      The house on Mango Street is ours and we don ‘t have to pay rent to anybody or share the yard with the people downstairs or be careful not to make too much noise and there isn’t a landlord banging on the ceiling. But even so it’s not the house we’d thought we’d get.
We had to leave the flat on Loomis quick. The water pipes broke and the landlord wouldn’t fix them. We were using the washroom next door and carrying water over in empty milk gallons. That’s why Mama and Papa looked for a house, and that’s why we moved into the house on Mango Street, far away, on the other side of town.
Our parents always told us that one day we would move into a house, a real house that would be ours for always so we wouldn’t have to move each year. And our house would have running water and pipes that worked. And inside it would have real stairs, not hallway stairs, but stairs inside like the houses on T.V. And we’d have a basement and at least three washrooms so when we took a bath we wouldn’t have to tell everybody. Our house would be white with trees around it, a great big yard and grass growing without a fence. This was the house Papa talked about when he held a lottery ticket and this was the house Mama dreamed up in the stories she told us before we went to bed.
But the house on Mango Street is not the way they told it at all. It’s small and red with tight little steps in front and windows so small you’d think they were holding their breath. There is no front yard, only four little elms the city planted by the curb. Out back is a small garage for the car we don’t own yet and a small yard that looks smaller between the two buildings on either side. There are stairs in our house, but they ‘re ordinary hallway stairs, and the house has only one washroom, very small. Everybody has to share a bedroom.
Once when we were living on Loomis, a nun from my school passed by and saw me playing out front. The laundromat downstairs had been boarded up because it had been robbed two days before and the owner had painted on the wood YES WE’RE OPEN so as not to lose business.
Where do you live? she asked.
There, I said pointing up to the third floor.
You live there?
There. I had to look to where she pointed—the third floor, the paint peeling, wooden bars Papa had nailed on the windows so we wouldn’t fall out. You live there? The way she said it made me feel like nothing. There. I lived there. I nodded.
I knew then I had to have a house. One I could point to. The house on Mango Street isn’t it. For the time being, Mama said. Temporary, said Papa. But I know how those things go. 

Please give your comment about this prose in comment box below. May be later I'll add my impression about this very soon ;) thankyou

Jumat, 24 April 2015

How Beer Influences Our Body?





In Indonesia, where major people is in Islam religion, beer’s reputation is not really good indeed comparing with another varieties of beverages. For it is containing special matter which is well known as alcohol, people belief when a person is drinking too much, he or she is at risk for any long-term health problem. Yet, actually alcohol has several surprising health benefits. In what follow, I will show you how beer influences our body 1.
The first paraghraph explores how beer influences in the postive way. Beer can reduce the risk of heart problem in fact. The recent study found that beer can decrease trigleserida and LDL cholesterol in mouse experiment. as a consequent, the risk of heart problem will also decrease. What is more, consuming a glass of beer a day with appropiate amount can less blood coagulation which is good for people who has heart problem live a longer life.
Further to this theme, alcohol is also can affect the temperature of our body just like another fermentation food and beverages, such as tape ketan, tape singkong, legen, and so on. Our ancestors actually use this kind of food to warm up our body when the weather is too cold, and it had been a tradition as national inheritance.

                Published Saturday, April 25, 2015
                Supermadaa.blogspot.com

Apart from that, we will also considers the bad impacts of beer. As we know, the beer have high-risk chemical which is able to make an addiction. Moreover, if someone is addicted, he will drink in big amount of beer. Consequently, as a mature person, we must remember the golden rule: everything in moderation. “You don’t want to embarrass yourself in front of your friends by drinking too much, and you certainly don’t want to put yourself at risk for any long-term health effects like liver problems, kidney diseases and heart disease” suggest dr. Manny Alvarez, head of Department of Obstetrics and Gynecology and Reproductive Science at Hackensack University, USA,  for healthy food and beverages consumption.

“Despite beer’s bad reputation, it actually has a number of natural antioxidants and vitamins that can help prevent heart disease and even rebuild muscle”, dr.Manny said


This evidence highlight that as fermentation product, beer contains alcohol which make special effect to our body. It is your right to drink or not. However  you must also concern your health by consuming in balance diet of foods and beverages.

__________________________________________________________________________________
1 in this essay, i will verify the influence of beer regardless of its justification as Haram beverages cause it can be categorized as Khamar indeed. Neverthless, young people nowadays is so familiar with that alcoholic beverages. By knowing the influences, i hope we can determine how to behave, not directly blame and accuse other people without knowing the logical reasons.

REFERENCE :
1.    FoxNews.com

By Ahmada Khoirulil Fatih 
      English Education FBS UNY